Tuesday, September 16, 2014

Model Mendidik Anak Agar Memiliki Kecerdasan Finansial



Naufal Kaafi Adwisty, itulah nama panjang anakku yang pertama. Sekarang umurnya 9 tahun dan sudah duduk di kelas 3 di sebuah SD di daerah Prambanan, Sleman,Yogyakarta.Semenjak naik ke kelas 3,setiap pulang sekolah ada-ada saja permintaannya. Hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang kenaikan kelas,anakku minta dibelikan sepeda lipat.Padahal di rumah sudah ada sepeda yang saya belikan pertengahan semester di kelas dua dulu.Setelah ditelisik lebih jauh kenapa minta sepeda lipat,jawabannya biar sama dengan teman-temannya yang lain.Setelah diberi pengertian bahwa harga sepeda lipat masih mahal,sementara bapak ibunya belum ada dana (alasan saja...),anakku akhirnya luluh tidak jadi dibelikan sepeda lipat.

Setelah redam sejenak tidak ada permintaan apapun,sebulan yang lalu anakku minta dibelikan handphone yang bisa untuk bermain game seperti kepunyaan tantenya.Permintaannya ini selalu diulang ulang setiap mau berangkat serta waktu pulang sekolah.Kalau dijawab uang bapaknya belum cukup untuk beli handphone,anakku pun tidak kalah jawabannya.”Harga handphone berapa tho,pak? Kalau uang bapak kurang, nanti Naufal ambil uang tabungan Naufal di bank XYZ”,begitu jawabannya. Memang selama ini setiap anakku dapat pemberian uang dari siapa saja waktu Hari Raya Idul Fitri,selalu uang tersebut saya taruh di tabungan anakku. Sejak 2 tahun kemarin,”angpao “ anakku tersebut selalu saya setorkan ke bank.Tujuanku agar anakku mulai mengenal produk perbankan serta ada kemauan untuk menyisihkan uang jajan untuk ditabung.

Cara mengenalkan anak dengan uang,saya jadi ingat dengan cara orang tua saya dulu dalam mengenalkan pentingnya uang. Karena kedua orang tua saya tergolong ekonomi tidak mampu,dalam urusan keuangan menerapkan aturan yang ketat. Setiap permintaan anaknya belum tentu disetujui,apalagi waktu itu biaya sekolah masih dibayar sendiri oleh orang tua. Beda dengan sekarang yang biaya sekolah negeri mendapatkan subsidi dari pemerintah. Sehingga fokus orang tua saya adalah biaya sekolah harus tercukupi dulu,baru menyisihkan uang untuk keperluan lainnya.Sehingga tak jarang anak-anaknya harus ikut membantu pekerjaan orang tua agar cepat selesai dan mendapatkan uang.

Beda generasi,beda pula perkembangannya.Kalau waktu saya masih kecil,belum banyak produk makanan instan (snack) yang dijajakan di warung-warung,mainan pun modelnya itu itu saja belum semenarik dan semurah saat ini.Sekarang di setiap warung,pedagang asongan selalu ada makanan ringan yang disukai oleh anak-anak yang modelnya macam-macam dan selalu berganti-ganti setiap bulannya.Lingkungan pergaulan sekarang, anak anak lebih rentan tergoda untuk selalu minta uang kepada orang tuanya untuk membeli makanan ringan kesukaannya.

Salah satu ‘kesalahan’ fatal dari sistem pendidikan kita adalah tidak diajarkan anak-anak untuk melek finansial dan kemandirian finansial. Dari kecil hingga perguruan tinggi, rata-rata masalah kemandirian finansial, seakan-akan menjadi tanggung jawab dari orang tua. Mungkin ada benarnya juga, tetapi hal ini menjadikan anak menjadi manja finansial.

Semua kebutuhan dari kecil hingga perguruan tinggi, dilengkapi oleh orang tua. Ketika si anak lulus kuliah, barulah menghadapi realitas kenyataan hidup yang sebenarnya. Di sinilah mulai terjadi yang namanya bingung finansial yang berakibat pada buta finansial. Jika sedari kecil sudah diajarkan tentang melek finansial, maka salah satu akar masalah orang dewasa hari ini, yakni masalah ekonomi, bisa terselesaikan


Kembali ke cerita anak saya diatas, setelah saya perhatikan lebih seksama terkait selalu berubah-ubahnya keinginan anak saya tersebut diatas ternyata dalam segala hal yang berkaitan dengan uang,jangkauan berpikir seorang anak belum seluas orang dewasa. Apa yang penting bagi kita,belum tentu penting bagi mereka. Anak-anak tidak selalu setuju,kemungkinan besar malahan akan membantah apa yang kita perintahkan. Dalam proses pembelanjaran pengelolaan uang, kita akan menghadapi anak-anak yang akan banyak melakukan kesalahan-kesalahan dalam mengelola uangnya. Patut disadari juga bahwa cara anak kita belajar tentang uang sama dengan cara kita belajar tentang uang, juga hal hal lain yang sangat penting dalam hidup ini. Yaitu dengan selangkah demi selangkah, membuat semakin sedikit kesalahan dan menjalani konsekwensi atas keputusannya.

Karena itu memaksakan logika berpikir orang dewasa kurang tepat diterapkan kepada anak-anak. Artinya jika kita ingin mengajarkan nilai uang kepada anak,tempatkan diri kita terlebih dahulu pada posisi mereka. Turunkan ego orang dewasa dan menyelami lebih dalam ego anak anak jaman sekarang. Toh,kita kan pernah merasakan dunia anak-anak seperti yang dialami oleh anak anak kita saat ini.

Tiga konsep pendekatan berikut ini,mudah mudahan bisa membantu kita membangkitkan kecerdasan finansial untuk anak kita.

  • Menabung Dengan Suka Cita

Orang tua (termasuk saya heheee) seringkali tanpa sadar memaksa anak anak untuk menabung. Tiap kali mereka punya uang lebih yang didapat dari nenek,paman,bibi bahkan dari pemberian kita sendiri,tanpa sadar kita melarang mereka untuk membelanjakannya. Hal ini menyebabkan perintah menabung dari orang tua dirasakan oleh anak malah seperti penjara, tempat orang tua menahan uang milik mereka agar tidak bisa dipakai.

Menabung adalah kegiatan yang ditujukan untuk suatu hasil di massa depan. Uang hasil menabung tidak digunakan sekarang tetapi suatu saat nanti. Bagi orang dewasa, masa depan berarti bertahun tahun kemudian,misalnya untuk membayar uang pangkal masuk Perguruan Tinggi anak, membeli rumah,membeli mobil ataupun persiapan pensiun. Bagi anak anak masa depan berkaitan dengan uang adalah ketika 6 bulan lagi bisa membeli sepeda lipat sendiri,3 bulan lagi beli handphone baru atau bulan depan bisa membeli mainan kesukaannya. Karena jangka waktunya pendek,anak-anak bisa jadi lebih bersemangat menabungnya. Karena itu memaksakan konsep menabung untuk masa depan versi orang dewasa dengan hitungan waktu bertahun tahun kemudian akan sulit diterima logika berpikir anak anak. Menabung dengan tujuan menyimpan uang selama mungkin,buat anak anak sama saja dengan tidak ada kesempatan menggunakan uang tersebut.

Orang tua sebaiknya tahu bahwa arti masa depan buat anak berbeda dengan kita. Pahamilah bahwa waktu berjalan lebih lambat bagi anak kecil daripada orang dewasa, Karena itu persepsi masa depan untuk anak adalah waktu yang tidak terlalu lama,biasanya kurang dari satu tahun,sebab jangka waktu masa depan untuk anak jauh lebih pendek daipada orang dewasa.

Menabung tidak akan memiliki arti kecuali jika dilakukan dengan sukarela dan ikhlas.Jika orang tua secara otomatis menyita uang anak entah itu hadiah berupa uang atau uang saku dan memasukkan ke celengan atau ke bank,anak kita tak akan menganggap

Padahal kita sendiri sebagai orang tua tidak menganggap menabung untuk diri kita sebagai bentuk hukuman. Kita yakin dengan menabung akan membuat hidup kita lebih baik di masa depan dan bahwa hasilnya akan bisa kita nikmati. Jika kita sedikit mengorbankan pengeluaran saat ini,kita yakin pada masa yang akan datang,bisa diperkirakan kita akan bisa membeli mobil yang lebih bagus,pindah rumah yang lebih besar,mengirim anak-anak kita ke perguruan tinggi favorit atau pensiun dini.Dengan kata lain kita menabung untuk alasan egois.Kita membelanjakan lebih sedikit uang sekarang agar bisa membelanjakan lebih banyak uang pada masa yang akan datang.

Karena itu untuk memotivasi anak anak agar mau belajar menabung,maka mereka memerlukan alasan egois yang masuk akal bagi mereka. Agar bisa menarik bagi anak anak,menabung harus bisa membuat hidup anak anak lebih baik dan mewujudkan tujuan keuanganya,sama yang seperti kita rasakan. Manfaat ini juga harus dapat dirasakan pada masa yang bagi anak anak terasa masuk akal,alih alih ditekan sejauh mungkin ke masa depan yang tidak ada dalam alam pikiran anak anak.

  • Kebebasan Mengambil Keputusan

Anak anak memang perlu mengendalikan uang milik mereka sendiri. Mengapa? Karena jika uang yang mereka belanjakan bukan benar-benar milik mereka, anak-anak tak punya alasan yang memaksa untuk memperhatikan bagaimana menghabiskannya. Anak anak yang seringkali merengek minta orang tuanya membelikan sesuatu menandakan dia tidak peduli dan kurang bertanggungjawab dengan uang orang tuanya dan untuk apa mereka bertangungjawab,toh itu bukan uang mereka. Anak anak yang tidak mempunyai kontrol atas uang milik mereka sendiri tidak punya alasan untuk tidak meminta uang dan akan segera menghamburkan uang yang mereka dapatkan.

Bukan berarti semua diperbolehkan. Selama masih dalam batas perilaku yang dibolehkan,anak-anak sebaiknya diperbolehkan untuk mengambil keputusan sendiri dan kita mungkin bisa menawarkan saran berdasarkan pengalaman terhadap keputusannya.

Memegang kendali atas uang mereka sendiri memaksa anak anak melawan dan menimbang keinginan mereka yang sebenarnya. Hal ini juga membebaskan orang tua dari keharusan peran yang selalu menghakimi dan menasihati dalam masalah keuangan keluarga. Jika anak kita ingin membeli mainan, dia tidak perlu menyakinkan kita bahwa pembelian itu berguna,tetapi dia harus menyakinkan dirinya sendiri.Dan jika dia memutuskan untuk meminta pendapat kita,dia tahu pendapat kita akan cukup adil.

  • Orang tua sebagai teladan

Air cucuran jatuhnya ke pelimbahan juga,begitu pula sifat seorang anak maka begitulah juga sifat orang tuanya. Seorang anak memang cerminan sifat dan kebiasaan orang tuanya,hampir seperti salinan atau fotocopy. Jadi lakukanlah hal hal yang sesuai dengan apa yang kita ajarkan kepada anak kita, jangan hal yang sebaliknya. Contohnya kita mengajarkan untuk berhemat,tapi kita sendiri malah boros.

Sebenarnya setiap hari kita telah mengajarkan tentang uang kepada anak kita. Kita mengajarkan uang kepada mereka setiap kali anggaran belanja rumah kebobolan,tampak bahagia atau sedih setiap pulang kerja,membayar angsuran kredit di bank tepat waktu atau menumpuk utang sampai membengkak. Selama masa kecil,pelajaran yang diberikan tanpa sadar ini seringkali meninggalkan kesan lebih mendalam dibandingkan apapun yang kita katakan kepada mereka. Oleh karena itu cara terbaik untuk mengajarkan uang kepada anak-anak adalah menjalani hidup dimana uang digunakan secara tepat dan selalu memberikan teladan yang baik tentang penggunaan uang.

Belakangan ini,berkat bantuan teknologi internet segala hal yang berbau dengan pengelolaan keuangan dapat diakses disetiap waktu. Berbagai lembaga keuangan berlomba-lomba menawarkan produk keuangan unggulannya dimana kita sebagai obyeknya tidak diberikan edukasi yang memadai sesuai dengan tiga konsep tersebut diatas. Saat ini kebanyakan lembaga keuangan hanya menitikberatkan pada banyaknya dana dari konsumen yang berhasil diserapnya yang kebanyakan konsumennya orang dewasa. Hal ini tentunya tidak mendidik masyarakat mengenai edukasi finansial sejak dini.


Sebaiknya lembaga keuangan tersebut entah itu lembaga bank maupun asuransi senantiasa mengkampanyekan kegiatan menabung di tengah masyarakat sehingga terbentuk persepsi bahwa dengan menabung masa depan kita akan terjaga. Dengan menabung yang dimulai sejak dini,selain potensi mendapatkan pendapatan bunga yang besar,dana tabungan tersebut juga turut serta membangun bangsa ini.Menabung disini bisa diartikan dengan menyimpan uang kita di bank,investasi dipasar modal maupun membeli proteksi di perusahaan asuransi.

Peran industri keuangan untuk memberikan edukasi finasial sejak dini kepada anak-anak selama ini belum digarap secara maksimal. Pertimbangannya mungkin karena anak-anak masih tergantung secara finansial dengan orang tuanya,padahal semakin dini edukasi tersebut diajarkan kepada anak anak kita investasi yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan tersebut lebih sedikit daripada meng-edukasi orang dewasa yang banyak kemauannya. Informasi mendidik anak agar memiliki kecerdasan finansial bisa dilakukan lewat seminar-seminar,melalui situs internet,melalui pamflet/selebaran,memasukkan dalam mata pelajaran di sekolah yang intinya mendidik anak-anak melek finansial sejak dini melalui peran serta kedua orang tuanya.

Dengan semakin bertambah cerdasnya anak anak yang melek finansial, dalam jangka panjang investasi yang telah dikeluarkan oleh lembaga keuangan akan berkurang secara signifikan.Karena sudah terbentuk karakter sejak dini sehingga ketika sudah menginjak dewasa,anak-anak tersebut akan menularkan kebiasaan-kebiasaannya yang didapat sewaktu masih kecil kepada anak anaknya. Walaupun akan ada evaluasi yang dilakukan yang disesuaikan dengan perkembangan jaman tentunya.

Di Indonesia terdapat lembaga keuangan asuransi yang sudah terpercaya yaitu Sunlife Indonesia.Saya rasa Sunlife mampu mengkampayekan edukasi finansial sejak dini sehingga ketika dewasa,anak anak kita tersebut tidak usah dipaksa untuk membeli proteksi asuransi akan tetapi sudah atas kesadaran sendiri. Membeli dengan sukarela karena sadar akan banyaknya resiko dalam menjalani hidup ini. Selain itu,adanya kebebasan untuk memilih produk keuangan yang disesuaikan dengan profil resiko masing masing. Tidak ada paksaan yang hanya sekedar mengejar jumlah setoran saja. Selain itu Sunlife pun bisa menjadi teladan bagi industri keuangan lainnya dalam hal edukasi finansial sejak anak anak yang diprogramkan secara berkelanjutan dan terus menerus.

Kesimpulannya

Edukasi finansial sejak dini harus terus dikembangkan dengan dukungan semua pihak. Tiga konsep pendekatan edukasi sejak dini tersebut setidaknya membantu membangun dan membentuk masyarakat yang melek finansial sehingga diharapkan di masa depan tidak ada lagi istilah buta finansial ataupun bingung finansial yang melanda di tengah masyarakat kita.





Referensi :

Artikel Mike Rini di Danareksa.com

http://www.ciputraentrepreneurship.com/personal-advice/mendidik-anak-agar-melek-finansial

No comments: