Saturday, June 11, 2016

Relawan PMI Selalu Hadir Dimanapun Untuk Siapapun

Para relawan PMI dari berbagai daerah berdatangan ke Kantor PMI Bantul pasca Gempa 5.9 SR

Hari Sabtu 27 Mei 2006 jam 05.55 WIB,10 tahun yang lalu masih tetap segar dalam ingatan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya.Bencana alam gempa bumi teknonik berkekuatan 5.9 SR telah memporakporandakan wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Meluluhlantakkan ribuan rumah serta menyebabkan ribuan orang menjadi korbannya,baik dalam kondisi luka luka maupun meninggal dunia.Wilayah terdampak gempa bumi paling parah adalah Kabupaten Bantul yang menjalar ke timur hingga Kabupaten Klaten.Peristiwa gempa bumi tersebut mengagetkan semua orang ketika semua tengah bersiaga mengantisipasi erupsi Gunung Merapi yang sebelumnya menunjukkan gejala “batuk batuk”.

BMKG mencatat,gempa susulan terjadi beberapa kali yakni pada pukul 06:10 WIB, 08:15 WIB dan 11:22 WIB.Banyak bangunan sarana publik,perkantoran dan rumah warga yang rubuh.Akses transportasi, listrik dan komunikasi terputus.Bandara Adi Sutjipto ditutup karen gangguan komunikasi dan kerusakan landasan pacu.Sehingga untuk sementara transportasi udara dialihkan ke Bandara Achmad Yani Semarang dan Bandara Adisumarmo Solo.Sementara itu hanya saluran televisi yang masih dapat dihandalkan untuk melihat perkembangan dari dampak gempa 5.9 SR tersebut.

Pemandangan memilukan terlihat diberbagai rumah sakit yang ada di Yogyakarta yang  penuh dengan para korban luka berat yang membutuhkan penanganan segera.Sementara itu dokter, perawat serta stok obat obatan sangat terbatas jumlahnya.Sehingga banyak korban luka berat yang harus menunggu giliran untuk penanganan medisnya di pelataran rumah sakit.

Menjelang sore,pemandangan berbeda terlihat di lapangan Dwi Windu Bantul.Sekelompok orang mulai membangun beberapa tenda darurat yang difungsikan sebagai tempat pengungsian serta Rumah Sakit Darurat.Itulah para relawan PMI yang lebih dikenal sebagai Tenaga Suka Rela (TSR) yang langsung bergerak begitu mendengar dan menyaksikan begitu dahsyatnya dampak gempa 5.9 SR tersebut.Untuk penerangannya,menggunakan satu-satunya genset yang ada dan bisa dipakai. Seperti yang di ceritakan oleh seorang relawan bernama TotoKaryanto, begitu ‘sederhananya’ ruang operasi yang ada di rumah Sakit Darurat tersebut.Ruang operasinya adalah sebuah tenda seng (tarub/terop) yang semula akan dipakai untuk tribun kehormatan turnamen sepak bola se-Kabupaten Bantul pada esok harinya, 28 Mei 2006.Sedangkan meja operasinya adalah deretan meja belajar yang hanya dilandasi karpet dan pinjaman dari sebuah SD yang lokasinya di selatan lapangan bola tersebut.Sedangkan penyekat antar ruangannya juga menggunakan karpet yang berbeda ketebalannya.

Saat itu di Rumah Sakit Darurat tersebut hanya ada dua orang tenaga medis yang berasal dari sebuah klinik swasta yang bangunannya hancur akibat gempa.Semua pasien dan tenaga medis diungsikan di RS Darurat PMI ini.Kelelahan nampak sekali di wajah kedua tenaga medis itu. Terutama sang dokter yang usianya sekitar 40-an tahun.Ia adalah dokter pertama yang memprakarsai pendirian RS Darurat yang mulai beroperasi sejak siang hari dengan tempat seadanya.

Sejak siang hari korban gempa yang mengalami luka serius yang sudah ditangani oleh kedua tenaga medis tersebut sudah mencapai 30 pasien dan terus bertambah jumlahnya menjelang malam.Sudah tak terkira terdengar suara pasien tersebut meraung kesakitan ketika menjalani operasi karena tim medis kehabisan obat bius.Karena kebutuhannya cukup tinggi,lalu RS Darurat tersebut oleh PMI dikembangkan menjadi Klinik Lapangan.Yang dibangun di lapangan tenis Dwi Windu atas prakarsa 5 org dokter,1 perawat,dan 1 personil Humas PMI.
Kelima dokter PMI itu adalah: dr.Slamet (Bantul), dr.Agus Zuliyanto (Banyumas), dr.Esti Nigtyas (Banjarnegara), dr.Tri Wahyudi dan dr.Seno Suharyo (Surabaya).Dibantu oleh Sentot Sugiyarto (perawat) dan Wisnu Wardana (Humas) dari PMI Banjarnegara.Untuk kebutuhan perlengkapan dan obat-obatannya berasal dari hasil sumbangan apotek apotek serta stok PMI Bantul.

Keesokan harinya bantuan obat obatan,mobil ambulan,tenaga medis dan relawan mulai berdatangan dari berbagai wilayah sekitar Yogyakarta dan beberapa hari kemudian bantuan dari luar negeri. Pasien luka serius yang sudah menunggu lama segera di bawa ke rumah sakit di luar Yogyakarta seperti ke Solo,Purworejo,Magelang bahkan sampai ke Semarang untuk mendapatkan penanganan segera.Bantuan ribuan kantong darah dari PMI Pusat dikirimkan ke Yogya,Semarang, dan Solo.

Sedangkan relawan PMI lainnya segera menyisir ke wilayah terdampak yang korban lukanya belum mendapatkan pertolongan.Para korban tersebut segera dievakuasi.Selain itu untuk memetakan lokasi untuk distribusi bantuan,pelayanan kesehatan darurat sampai kepada penyediaan rumah tinggal sementara untuk para korban bencana.Selain membantu korban luka akibat gempa, PMI juga membantu kebutuhan air bersih bagi para pengungsi.Bantuan logistik PMI berupa: family kit, hygiene kit, baby kit, makanan dan minuman juga didistribusikan para relawan PMI.Ratusan relawan PMI spesialis psikososial,membantu pemulihan trauma pasca bencana kepada warga dan anak-anak di Yogya.

Berkat kerja keras para relawan PMI serta relawan dari berbagai organisasi sosial lainnya,proses evakuasi,pemulihan dan rehabilitasi pasca gempa bumi 5.9 SR di Yogyakarta dan sekitarnya dapat berlangsung lebih cepat.

Banyak orang awam menilai bahwa seorang Relawan PMI identik dengan petugas pertolongan pertama (PP) di konser musik,pengawal gerak jalan atau beragam kegiatan olahraga, seni dan sebagainya yang memerlukan kehadiran sebuah ambulans beserta alat medis dan petugas di dalamnya.Pandangan tersebut tidak salah,tetapi sangat keliru.Realitanya,banyak tugas penting dan berisiko tinggi hingga harus "mempertaruhkan nyawa " bagi kehidupan orang lain dilakukan oleh para Relawan PMI.Salah satunya terjadi ketika relawan PMI Bantul bernama Tutur Priyanto serta seorang wartawan Vivanews gugur ketika melakukan tugas evakuasi penduduk Kinahrejo sewaktu Gunung Merapi yang merupakan gunung berapi paling aktif di dunia yang terletak di utara Yogyakarta meletus pada tanggal 26 Oktober 2010.


Hingga saat ini kita masih dapat menyaksikan mobil Suzuki APV yang digunakan oleh relawan PMI Tutur Priyanto yang terbakar dan meleleh diterjang awan panas teronggok di petilasan rumah Mbah Maridjan.Sang juru kunci Merapi yang juga ikut menjadi korban awan panas Merapi.

Tantangan dari proses evakuasi korban Merapi ini adalah kondisi tanah yang berupa pasir dan debu yang masih panas,butuh waktu lama untuk menjadi dingin.Apalagi 1 minggu kemudian Merapi kembali meletus,bahkan letusannya lebih besar dari letusan tanggal 26 Oktober 2010. Letusan kedua ini banyak menimbulkan korban jiwa meninggal dunia tersapu awan panas.Team gabungan evakuasi yang terdiri dari aparat TNI,relawan PMI serta relawan dari organisasi lainnya butuh waktu lama untuk mengevakuasi para korban tersebut karena beratnya medan.PMI pun membantu proses evakusia dengan menurunkan kendaraan multi medan yaitu panser khusus yang bernama Hagglund BV206.


Respon Bencana relawan PMI yang bergerak cepat tidak hanya di kedua lokasi bencana alam yang terjadi di Yogyakarta saja,tempat saya bermukim selama ini.Kita masih ingat dengan benccana tsunami Aceh 26 Desember 2004,tragedi jebolnya tanggul Situ Gintung di Tangerang Selatan yang menewaskan puluhan warga di bulan Maret 2009 erupsi Gunung Kelud tahun 2014,tanah longsor di dusun Jemblung,Karangkobar Banjarnegara di akhir tahun 2014,erupsi Gunung Sinabung di Sumatera Utara yang masih berlangsung hingga saat ini serta lokasi bencana lainnya,para relawan PMI menjadi ‘garda terdepan’ dalam proses evakuasi para korban.

Berkaca pada begitu vitalnya peran relawan dalam respon bencana alam yang sering terjadi di negara kita,sepatutnya kita mengucapkan terima kasih sebesar besarnya kepada mereka atas dedikasi kemanusian yang tiada bandingannya ini.Apalagi bahwa kita menyadari hidup di negeri yang rawan bencana sehingga peran para relawan PMI bisa menjadi bagian dari early warning system.

Kedepannya diharapkan berubahnya paradigma seorang relawan yang berkembang di masyarakat dari mereka yang selalu terjun dan akan terjun hanya saat bencana terjadi,beralih kepada seorang yang siap memberikan kontribusi dan manfaatnya kepada lingkungan sekitar kapan saja dan dimana saja.Dan jadi relawan PMI tentu menjadi hak siapa saja.Termasuk saya dan anda....




No comments: